Indonesia Bebas Masalah Dukung Gugat Menkominfo Imbas Pemblokiran PSE
3 min readPemblokiran PSE dinilai merupakan perbuatan melawan hukum oleh penguasa karena tidak sesuai dengan standar HAM, tidak terdapat alasan pembenar menurut hukum, bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) dan mengakibatkan kerugian bagi masyarakat luas
Oleh Imam S Ahmad Bashori Al-Muhajir
Team Pencari Fakta Indonesia Bebas Masalah
Suaradesaku.net: Indonesia Bebas Masalah mendukung Gugatan untuk Menkominfo. Ada beberapa Lembaga yang menyiapkan gugatan untuk Menteri Komunikasi dan Informatika terkait pemblokiran sejumlah layanan digital/penyedia sistem elektronik (PSE) yang termuat dalam aturan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020.
“Indonesia Bebas Masalah bersama masyarakat akan mempersiapkan gugatan kepada Menkominfo (Johnny G Plate) untuk membatalkan tindakan dan kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang serta melanggar hukum dan HAM tersebut”, ungkap pengacara Teo Reffelsen.(Senin,8/8/2022).
Pos pengaduan
Dalam beberapa waktu ini, Indonesia Bebas Masalah membuka pos pengaduan #SaveDigitalFreedom yang diperuntukan bagi masyarakat yang dirugikan akibat sejumlah pemblokiran sejumlah Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), yang termuat dalam aturan Permen Kominfo Nomor 5 Tahun 2020.
213 pengaduan
Dari pos pengaduan yang dibuka selama sepekan ini, Indonesia Bebas Masalah telah menghimpun 213 aduan, di mana 194 di antaranya melaporkan kerugian dengan nominal yang diprediksi lebih dari Rp 1,5 miliar akibat kebijakan tersebut.
Para pengadu terdiri dari bidang pekerjaan beragam mulai dari yang terbanyak adalah freelancer (48 persen), karyawan swasta (14 persen), developer (12 persen), mahasiswa/ pelajar (12 persen) hingga lainnya seperti dosen, musisi dan entrepreneur.
Mengorbankan masyarakat
Indonesia Bebas Masalah berpandangan bahwa pemblokiran dengan alasan tidak terdaftar sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) justru mengorbankan masyarakat dengan timbulnya kerugian yang besar dan meluas khususnya pada pekerja industri kreatif.
Tidak mempertimbangkan dan memperhitungkan aspek kepentingan masyarakat
Pemerintah dinilai tidak mempertimbangkan dan memperhitungkan aspek kepentingan masyarakat sebelum melakukan tindakan pemblokiran.
“Hal tersebut melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana diatur dalam Pasal 52 juncto Pasal 10 Undang-undang tentang Administrasi Pemerintahan”, ujar Teo.
Tidak sesuai dengan standar dan mekanisme HAM
Ia melanjutkan, tindakan pemblokiran tidak sesuai dengan standar dan mekanisme HAM.
Hak atas informasi, hak kebebasan berekspresi hingga hak memperoleh kehidupan yang layak
Pembatasan akses internet tidak dapat dilakukan sewenang-wenang karena prinsipnya akses internet adalah hak asasi manusia yang terkait dengan hak atas informasi, hak kebebasan berekspresi hingga hak memperoleh kehidupan yang layak.
“Tindakan upaya paksa pemblokiran dengan alasan tidak terdaftar sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) tidak memiliki legitimasi pembatasan yang diatur dalam UU melainkan hanya pada level peraturan pelaksana Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 sehingga melanggar standar HAM”, jelas Teo.
“Pasal 40 ayat 2a, 2b UU ITE yang seringkali dicatut sebagai dasar hanya memberikan wewenang pemutusan akses bagi PSE yang memiliki muatan melanggar hukum yang didasarkan pada putusan pengadilan”, katanya.
Perbuatan melawan hukum oleh penguasa karena tidak sesuai dengan standar HAM
Oleh karenanya, pemblokiran ini dinilai merupakan perbuatan melawan hukum oleh penguasa karena tidak sesuai dengan standar HAM, tidak terdapat alasan pembenar menurut hukum, bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) dan mengakibatkan kerugian bagi masyarakat luas.
“Pasal 53 ayat 1 UU PTUN juncto Pasal 87 UU Administrasi Pemerintahan telah memberikan hak bagi siapapun yang dirugikan atas tindakan pemerintahan untuk melayangkan gugatan. Tindakan koreksi harus dilakukan untuk mencegah terulangnya pelanggaran dan kerugian masyarakat di masa mendatang”, tutup Teo.