Pendaftaran Tanah dengan BPJS Kesehatan Tak Logis
10 min readIni merupakan capaian luar biasa bagi warga negara. Karena, tidak banyak negara setingkat kekayaan Indonesia yang mampu melakukan tindakan seperti halnya BPJS Kesehatan
Oleh Imam Ahmad Bashori Al-Muhajir
Editor Moh Ardi
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan A Djalil mengakui BPJS Kesehatan sebagai syarat tambahan dalam pendaftaran tanah memang tidak logis.
“Sebenarnya begini, apa logikanya pendaftaran tanah dengan BPJS? Nggak ada logikanya”, terang Sofyan dalam konferensi pers Rapat Kerja Nasional (Rakernas) 2022, Senin (21/3/2022).
Akan tetapi, kata Sofyan, Undang-undang (UU) BPJS Kesehatan menyatakan, seluruh layanan publik wajib mematuhi BPJS Kesehatan.
Sebab, BPJS Kesehatan menjadi universal coverage (kewajiban menyeluruh). Jadi, setiap warga negara akan dilindungi kesehatannya dengan badan hukum publik tersebut.
Menurutnya, hal ini merupakan capaian luar biasa bagi warga negara. Karena, tidak banyak negara setingkat kekayaan Indonesia yang mampu melakukan tindakan seperti halnya BPJS Kesehatan.
“Sekarang nggak perlu lagi (nabung untuk kesehatan). Dengan bayar rutin aja BPJS, kalau sakit BPJS yang tanggung”, tambah dia.
Sehingga, bagi masyarakat yang sudah memiliki asuransi pribadi tetap diwajibkan untuk memiliki BPJS Kesehatan karena menjadi bagian dari gotong-royong tersebut.
“Untuk memastikan bahwa orang itu comply (patuhi) dengan wajib, maka layanan publik harus membuktikan. Hey you udah bayar belum? Itu (ada di) Inpres”, kata Sofyan.
Adapun BPJS Kesehatan diwajibkan sebagai syarat baru dalam pendaftaran tanah tercantum dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan (JKN).
Inpres ini dikeluarkan dalam rangka optimalisasi pelaksanaan program JKN, peningkatan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas, serta menjamin keberlangsungan program JKN.
Dalam Inpres 1/2022 diinstruksikan kepada berbagai kementerian untuk mengambil langkah-langkah sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing dalam mengoptimalisasikan program JKN, termasuk Kementerian ATR/BPN.
“Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk memastikan pendaftaran peralihan hak tanah karena jual beli merupakan peserta aktif dalam program Jaminan Kesehatan Nasional”, bunyi Inpres nomor 18 tersebut.
Siapa Saja yang Wajib Melampirkan BPJS Kesehatan Saat Jual Beli Tanah ?
Sejak 1 Maret lalu, Kementerian ATR/BPN telah memberlakukan BPJS Kesehatan sebagai syarat tambahan dalam proses jual beli tanah.
Terlepas dari polemik pemberlakuannya, mungkin masyarakat juga masih kebingungan soal penerapannya di lapangan.
Salah satunya tentang pihak yang wajib melampirkan BPJS Kesehatan saat prosesi jual beli tanah. Maksudnya di antara penjual dan pembeli.
Kepala Biro Humas Kementerian ATR/BPN Yulia Jaya Nirmawati mengatakan, pihak yang dipersyaratkan melampirkan fotokopi BPJS Kesehatan ialah pembeli tanah.
Dia pun mengeklaim syarat tambahan ini tidak mempersulit masyarakat.
“Apakah ini mempersulit? Tidak, yang dipersyaratkan itu adalah pembeli”, ujarnya, dikutip dari unggahan YouTube Kementerian ATR/BPN pada Sabtu (5/3/2022).
Artinya, persyaratan BPJS Kesehatan berstatus aktif ini tidak berlaku bagi seluruh anggota keluarga yang tercantum dalam kartu keluarga (KK).
“Yang dipersyaratkan wajib melampirkan fotokopi BPJS (Kesehatan) aktif itu adalah pembeli yang nantinya namanya tercatat di sertifikat (tanah)”, pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN Surya Tjandra menyampaikan, persyaratan melampirkan fotokopi kartu peserta BPJS Kesehatan sementara ini hanya untuk transaksi jual beli hak atas tanah dan berlaku untuk si pembeli.
“Pembeli diasumsikan ketika dia beli tanah atau transaksi pertanahan, dia punya sedikit dana untuk melakukan itu. Itu sementara, sambil pelan-pelan secara bertahap ingin ada kontribusi yang lebih banyak,” ujarnya dalam keterangan pers, Senin (7/3/2022).
Kebijakan ini merupakan bentuk berkontribusi Kementerian ATR/BPN dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang tujuannya menjamin akses pelayanan kesehatan bagi semua orang tanpa terkecuali.
Dia berharap ada gotong royong bagi yang tidak mampu, dibayarkan oleh negara. Jadi, presiden melalui instruksi tersebut ingin ada percepatan kepesertaan BPJS Kesehatan.
“Karena kepesertaan ini menentukan premi atau iuran yang bisa diperoleh oleh BPJS Kesehatan, yang merupakan dana amanat jadi itu bukan untuk cari untung”, tandasnya.
Penjelasan Logis
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan bahwa syarat melampirkan bukti kepesertaan BPJS Kesehatan dalam proses jual beli tanah sangat logis untuk diterapkan. Menurut Moeldoko, persyaratan tersebut tidak seharusnya dipandang dalam narasi negatif dan tidak menimbulkan permasalahan apa pun.
“Secara logika, masyarakat yang bisa membeli tanah adalah masyarakat dengan tingkat ekonomi yang relatif bagus. Seharusnya tidak menjadi masalah untuk membayar iuran kelas 2 atau kelas 1 BPJS”, kata Moeldoko dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Rabu 23 Februari 2022.
Sebagai informasi, per 31 Januari 2022, jumlah peserta BPJS Kesehatan tercatat 236 juta orang atau sekitar 86 persen jiwa penduduk Indonesia.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 139 juta orang di antaranya merupakan penerima bantuan iuran (PBI), yang iurannya dibayarkan oleh Pemerintah. Sementara itu, peserta nonaktif yang menunggak iuran terhitung ada sebanyak 32 juta orang.
Kondisi tersebut berdampak pada defisit keuangan BPJS Kesehatan yang tinggi.
Pemerintah pun mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No 1 tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang di dalamnya menginstruksikan 30 kementerian/lembaga untuk mendukung program ini.
Logika main paksa
Kebijakan Presiden Joko Widodo alias Jokowi mewajibkan masyarakat menjadi anggota BPJS Kesehatan untuk mendapatkan layanan publik dinilai melanggar undang-undang. Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan ketentuan yang tertuang dalam instruksi presiden itu bertentangan dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
“Ini berpotensi melanggar hak-hak publik dalam mendapatkan pelayanan dasar. Secara regulasi berpotensi melanggar UU Nomor 25 Tahun 2009”, ujar Tulus saat dihubungi pada Rabu, 23 Februari 2022.
Jokowi mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Program Jaminan Kesehatan (JKN). Beleid yang berlaku pada 1 Maret 2022 itu mengatur tanda kepesertaan BPJS Kesehatan menjadi syarat bagi masyarakat untuk melakukan transaksi jual-beli tanah dan bangunan, membuat surat izin mengemudi (SIM), membuat surat tanda nomor kendaraan (STNK), sampai surat keterangan catatan kepolisian (SKCK).
Bahkan, tanda kepesertaan BPJS Kesehatan akan menjadi syarat pelaksanaan ibadah haji dan umrah hingga kegiatan pendidikan. Tulus melihat aturan itu seharusnya dibatalkan karena merenggut hak publik untuk mengakses layanan umum.
YLKI, kata dia, akan mendorong masyarakat untuk melakukan uji material terhadap Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 ke Mahkamah Agung agar regulasi tersebut dibatalkan. “Ini bertentangan dengan regulasi di atasnya, bahkan berpotensi melanggar konstitusi,” ucap Tulus.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menduga pemberlakuan sistem kepesertaan BPJS Kesehatan sebagai syarat wajib untuk pelbagai keperluan berkaitan dengan rencana pemerintah menekan defisit keuangan lembaga jaminan kesehatan tersebut. BPJS Kesehatan diperkirakan akan kembali mengalami defisit setelah pandemi berakhir.
“Akan terjadi rebound pembayaran jaminan. Ini yang harus diantisipasi,” kata Timboel.
Keuangan BPJS Kesehatan mengalami defisit dalam beberapa tahun. Pada 2014, BPJS Kesehatan mencatatkan defisit sebesar Rp 1,9 triliun; yang kemudian melonjak sampai Rp 9,4 triliun pada 2015.
Kemudian pada 2016, defisit BPJS Kesehatan turun menjadi 6,4 triliun. Namun pada 2017, rentang defisit itu kembali melebar menjadi Rp 13,8 triliun dan pada 2018 meningkat hingga Rp 19,4 triliun. Pada 2019, BPJS Kesehatan mengalami defisit 13 triliun.
Sementara itu pada 2020, laporan keuangan lembaga audited mencatatkan defisit sebanyak Rp 5,69 triliun. Barulah pada akhir 2021, lembaga ini mencatatkan surplus. Pada tahun tersebut terjadi lonjakan signifikan aset bersih dana jaminan sosial kesehatan. Hingga Desember 2021, posisi aset bersih dana jaminan sosial kesehatan sebesar Rp 39,45 triliun.
Adapun realisasi penerimaan iuran sebesar Rp 139,55 triliun atau melampaui target yang ditetapkan sebesar Rp 138,4 triliun. Sedangkan realisasi pembayaran manfaat sepanjang 2021 adalah Rp 90,33 triliun.
Meski demikian, BPJS Kesehatan tak menutup kemungkinan kembali terancam defisit. Potensi defisit didorong oleh peningkatan utilisasi layanan JKN secara tajam. “Kurang lebih pada 2023 itu sudah defisit,” kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron dalam rapat bersama Komisi IX DPR, pertengahan Januari lalu.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai kebijakan pemerintah memaksa kepesertaan BPJS Kesehatan masyarakat untuk menjadi syarat mengakses layanan publik tidak tepat. Musababnya, jangkauan subsidi kepesertaan jaminan kesehatan masih sangat terbatas.
Sementara itu, banyak masyarakat dengan kategori menengah dan rentan miskin yang tidak tercakup sebagai peserta penerima bantuan iuran (PBI). “Masyarakat kelompok ini kalau disuruh bayar BPJS Kesehatan, apalagi satu keluarga, ini cukup memberatkan,” ucap Bhima.
Kebijakan yang diterapkan pada masa pemulihan ekonomi karena pandemi Covid-19, kata dia, akan mendorong tekanan ekonomi yang lebih dalam terhadap masyarakat. Di sisi lain, ia memperkirakan daya beli masyarakat bisa tergerus.
Bhima menyarankan pemerintah menggunakan cara-cara untuk meningkatkan kepesertaan BPJS Kesehatan secara lebih persuasif. Langkah itu bisa dimulai dengan mendorong kepatuhan kepesertaan jaminan kesehatan dari perusahaan-perusahaan formal. “Itu dulu yang dikejar kepatuhannya daripada seperti sekarang ini, pemaksaan,” ucapnya.