Amandemen: Kilas Balik, Paradoks, GBHN, Membunuh Demokrasidan Kepentingan Siapa ?
20 min read
Oleh : Imam S Ahmad Bashori Al-Muhajir
Editor : Moh Ardi
Pada daftar login menulis sendiri pojok kanan atas kontroversi
Comunication & Mass Serving Beurau Indonesia Bebas Masalah
Klaim tak singgung UUD 1945
Tujuh partai politik atau parpol yang tergabung dalam koalisi pendukung pemerintah bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Koalisi mengklaim tak ada pembahasan amandemen UUD 1945.
Sekjen Partai NasDem Johnny G Plate, yang hadir dalam pertemuan itu, awalnya menyebut ada pembahasan evaluasi tata negara hingga pemerintahan daerah. Dia mengklaim tak ada bahasan soal amandemen UUD 1945.
“Yang keempat adalah ketatanegaraan, otonomi daerah, dan sistem pemerintahan. Sebagai akibat dari dampak COVID-19”, kata Johnny G Plate di kawasan Widya Chandra, Jakarta Selatan, Rabu (25/8/2021).
“Di mana dibutuhkan sekali kecepatan-kecepatan dalam mengambil keputusan, tantangan-tantangan dari kebijakan sistem pemerintahan dan otonomi daerah yang kita saat ini laksanakan”, imbuhnya.
Johnny menjelaskan perlu ada evaluasi tata kelola pemerintahan di pusat dan daerah, sehingga dapat diambil keputusan cepat dalam roda pemerintahan.
“Evaluasinya otonomi daerah kita dan sistem perundang-undangan yang saat ini cukup menyulitkan kecepatan di dalam mengambil keputusan. Ini kendala yang harus segara kita atasi”, ucapnya.
Menkominfo ini kemudian menyatakan tak ada pembahasan soal rencana amandemen UUD 1945 meski ada pembahasan soal evaluasi tata negara. Dia mengatakan pertemuan parpol koalisi dengan Jokowi hanya membahas fokus pemerintahan Jokowi.
“Dari lima topik tadi kan tidak dibicarakan UUD 1945, kan? Jadi tadi tidak dibicarakan terkait dengan UUD 1945, tapi dibicarakan tentang 5 topik yang saat ini menjadi fokus pemerintah Bapak Presiden Joko Widodo”, ucapnya.
Dia mengatakan evaluasi tata negara dilakukan bukan terhadap UUD 1945. Menurutnya, evaluasi hanya terhadap aturan-aturan soal pemisahan kewenangan pemerintahan pusat dan daerah dalam situasi darurat.
“Evaluasi ketatanegaraan bukan di supra-struktur tata negara. Bukan di tingkat UUD, tapi di aturan-aturan terkait dengan pemisahan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan semua kewenangan-kewenangan dan problematika di dalam pengambilan keputusan yang kita harapkan tepat dan jitu serta efisien di saat-saat darurat itu evalusianya perlu kita lakukan. Agar jangan sampai menghambat proses penyelesaian masalah di situasi-situasi darurat”, tutupnya.
Slow down
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri memerintahkan agar partainya mengambil langkah slowing down ihwal agenda amandemen UUD 1945. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan instruksi ini disampaikan Megawati lantaran partai ingin mengutamakan gotong royong dalam penanganan pandemi Covid-19.
Masih sepaham
Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani mengapresiasi sikap Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang menginstruksikan partainya slowing down dalam menjalankan agenda amandemen Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut Arsul, sikap untuk tak terburu-buru melakukan amandemen konstitusi di tengah pandemi Covid-19 saat ini merupakan kebijaksanaan dari para pimpinan partai politik.
Tak perlu ditutup rapat
“Bagi PPP sendiri sikap untuk tidak mendesakkan amandemen UUD, apalagi di tengah pandemi Covid-19 ini adalah sikap bijak para pimpinan parpol yang ada”, kata Arsul ketika dihubungi, Selasa, 24 Agustus 2021.
Meski begitu, Arsul meyakini partai-partai politik masih memiliki pemahaman yang sama bahwa UUD 1945 merupakan konstitusi hidup dan berkembang. Sehingga, kata dia, pintu amandemen konstitusi tak perlu ditutup rapat.
Sesat Pikir Soal PPHN
Ketua Majelis Penasehat Partai Partai Amanat Nasional Hatta Rajasa, mempertanyakan urgensi rencana amandemen UUD 1945 yang sedang digulirkan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Hatta menyebut amandemen memang dimungkinkan secara konstitusi. Namun, ia menyatakan, tak setuju jika amandemen UUD 1945 hanya untuk menetapkan pokok-pokok haluan negara (PPHN).
“Katakanlah amandemen untuk membangkitkan kembali ruh GBHN dalam jasad politik baru bernama PPHN. Yang menggelitik, saya ingin bertanya adalah argumentasi yang diajukan selama ini. Sejak reformasi, pembangunan dikatakan seakan-akan tidak memiliki arah atau haluan. Apakah betul demikian? Apakah reformasi melakukan pembangunan tanpa arah? Jelas ini sesat pikir”, ujar Hatta dalam acara perayaan ulang tahun ke-23 PAN, Senin, 23 Agustus 2021.
Hatta menuturkan memang Indonesia tidak lagi memiliki Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) namun bukan berarti bangsa ini tidak memiliki arah pembangunan.
Wacana dan upaya mengembalikan Garis-garis Besar Haluan Negara atau GBHN dalam sistem ketatanegaraan Indonesia kembali ramai diperdebatkan publik beberapa tahun lalu
Wacana dan perdebatan semata
Wacana dan upaya mengembalikan Garis-garis Besar Haluan Negara atau GBHN dalam sistem ketatanegaraan Indonesia kembali ramai diperdebatkan publik beberapa tahun lalu.
Kita tentu belum lupa, di awal berdirinya republik ini, MPRS yang dibentuk Presiden Soekarno untuk kali pertama mengeluarkan dua putusan berkenaan dengan perencanaan pembangunan, yakni Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Daripada Haluan Negara dan Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama 1961-1969.
Dalam banyak sisi, GBHN yang dikenal kemudian merupakan kelanjutan dari Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) 1956-1960 yang telah disusun pada masa Demokrasi Parlementer.
Partai Gerindra, sebagai partai reformis yang lahir dari semangat reformasi dan sejak partai ini didirikan oleh Bapak Prabowo Subianto, telah berkali-kali menegaskan bahwa negara bangsa ini seharusnya memiliki haluan negara yang jelas.
Bahkan, MPR pada periode lalu telah mendiskusikannya dengan serius. Diskusi MPR ini telah dilakukan, baik di tingkat pimpinan dan pusat kajian ketatanegaraan MPR maupun melibatkan perguruan tinggi di seluruh Indonesia.
Sekarang ini, sistem perencanaan pembangunan nasional termanifestasikan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005–2025, dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang berubah setiap lima tahun karena disusun berdasarkan visi dan misi presiden terpilih.
Konsisten kembali ke UUD 1945
Sejak Partai Gerindra berdiri, saya menjadi saksi bagaimana kami setia pada upaya mengembalikan pedoman negara kepada Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi buah pikir para pendiri bangsa ini.
Baru berselang satu bulan yang lalu, Fraksi Gerindra MPR RI telah menajamkan wacana ini dalam sebuah diskusi kelompok terbatas dengan para narasumber, staf ahli, dan para anggota Badan Pengkajian MPR RI.
Sejauh yang saya ketahui, sikap Gerindra mengacu pada pandangan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Pandangan Pak Prabowo sebenarnya sangat sederhana. Sederhana, tetapi sangat tepat dan hakiki sifatnya.
Garis besar pandangan pendiri Partai Gerindra ini adalah mau GBHN itu ada, atau tidak ada, apa pun namanya, intinya bukan di situ. Intinya adalah terletak pada para pementas atau pelaksananya. Bagaimana pemahamannya terhadap konstitusi itu sendiri.
Jadi, kalau kita sudah membuat sebuah rencana bagus, kalau tidak dilaksanakan dengan benar, tidak ada gunanya juga.
Satu yang penting juga digarisbawahi, kami tidak mau Fraksi Gerindra hanya sekadar ikut bicara, untuk meramaikan suara dan menari dengan genderang musik orang lain.
Saya mengambil contoh Bapak Permadi, salah satu kader Gerindra dan mantan anggota DPR yang kini anggota Badan Pengkajian MPR RI.
Pak Permadi orang yang punya pengetahuan lengkap tentang bagaimana amandemen berlangsung empat kali, dan beliau selalu menolaknya.
Ketika kali pertama diwacanakan di awal reformasi saja, beliau sudah menolak dan bertahan untuk tidak menandatanganinya. Walaupun kita semua tahu, pada saat itu Pak Permadi adalah anggota DPR dari partai pemenang pemilu.
Sampai saat ini pun, prinsip yang dianut oleh Gerindra adalah kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Jadi, bukan hanya mengembalikan GBHN yang menjadi inti perjuangan Gerindra. Bukan hanya GBHN, sekali lagi, karena itu keliru.
Apa yang kita inginkan adalah mengembalikan atau mengamandemen UUD 1945 secara utuh. Dari situ barulah kita mengupas satu per satu pasal mana yang membutuhkan penjelasan atau kita bisa memperjuangkan bagian yang menurut kita harus ditonjolkan demi kemaslahatan bangsa. Itulah Pak Permadi, dan saya menjadi kagum bagaimana ia mempertahankan prinsip itu sampai saat ini.
Memang banyak pro dan kontra tentang wacana menghadirkan kembali GBHN. Namun, Fraksi Gerindra MPR RI memilih aktif melakukan penyerapan aspirasi tentang wacana ini di berbagai kalangan. Mulai akademisi sampai para pakar hukum tata negara.
Banyak pendapat menarik yang kami terima. Satu yang dapat saya yakini, wacana amandemen ke-5 Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat dilakukan dengan tergesa-gesa. Wacana ini nanti akan menghidupkan kembali GBHN dan akan mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Beberapa pendapat yang dicatat Fraksi Gerindra MPR RI tentang menghidupkan kembali GBHN. Pendapat yang menjadi alasan yang cukup krusial, antara lain, mengingat kebutuhan negara seluas Indonesia, haluan negara menjadi pemandu arah pelaksanaan pembangunan nasional yang ajeg dan terus-menerus.
Alasan lain, perlunya sebuah integrasi atas sistem perencanaan pembangunan di tingkat pusat dan daerah. Selain itu, rakyat adalah basis pembangunan, dan demikianlah seluruh tujuan pembangunan, yakni untuk rakyat semata. Pamungkasnya, keberadaan suatu garis besar haluan negara menjadi penting untuk memastikan sebuah proses pembangunan merupakan manifestasi negara dan filsafat Pancasila.
perubahan konstitusi tersebut, maka sangat berpeluang ‘disusupi’ klausul mengenai penambahan masa jabatan Presiden
Disusupi klausul masa jabatan presiden
Wacana amandemen kelima Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) kembali mencuat dalam beberapa waktu belakang.
Berbagai polemik hadir lantaran isi rencana agenda perubahan kembali memunculkan Pokok-Pokok Haluan Negara serta penataan kewenangan lembaga negara Republik Indonesia.
Dua isu ini menjadi topik yang hangat serta menimbulkan pro dan kontra di masyarakat karena hadirnya asumsi bahwa terjadinya perubahan konstitusi tersebut, maka sangat berpeluang ‘disusupi’ klausul mengenai penambahan masa jabatan Presiden.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua DPD Sultan B Najamudin menyatakan bahwa amandemen kelima UUD 1945 adalah keniscayaan yang mesti dilakukan bahkan ia menilai bahwa hal tersebut merupakan jalan yang mesti ditempuh dalam membangun demokrasi Indonesia.
“Undang-undang dasar suatu negara bersifat dinamis, mengikuti gerak masyarakatnya bahkan diharapkan dapat menjadi guiding star yang memandu kehidupan masyarakatnya dalam meraih cita-cita bersama. Karena itu, pembentuk undang-undang dasar dan perubahannya harus mampu menangkap semangat zaman dan sekaligus berpikir visioner”, tutur Najamudin,
Harus berorientasi kehidupan kenegaraan
Sultan B Najamudin menyebutkan poin usulan dalam amandemen kelima harus berorientasi dalam kehidupan kenegaraan dan tidak boleh terjebak dalam kepentingan kelompok atau golongan tertentu.
Mengenai gagasan besar dalam wacana amandemen kelima UUD 1945, Sultan B Najamudin berpendapat bahwa, “harus dijadikan sebagai pintu masuk koreksi dan evaluasi terhadap tujuan agenda reformasi yang telah berjalan kurun waktu 23 tahun”.
Hadiah terbesar dan amanat reformasi
“Demokrasi adalah hadiah terbesar bagi rakyat Indonesia yang diberikan oleh amanat Reformasi dan hal itu telah membawa perubahan cara kehidupan bernegara kita semua, yaitu dengan menjadikan demokrasi sebagai tatanan nilai dalam suasana kehidupan kebangsaan, dan pemilihan langsung adalah bentuk nyata pemenuhan kedaulatan rakyat”, tuturnya.
Mendorong demokrasi
Dilansir kontroversi.or.id dari DPD RI, Jumat, 25 Juni 2021, ia mempertanyakan apakah cita-cita reformasi tersebut telah tercapai melalui skema demokrasi yang kita jalankan pada saat ini?
Menurutnya, dengan hadirnya mekanisme pemilihan Presiden secara langsung diharapkan bisa mendorong demokrasi di Indonesia menuju fitrahnya, yaitu kekuasaan berada di tangan rakyat.
Namun, ia menuturkan jika berkaca pada pengalaman pemilihan kepemimpinan yang selama ini, secara langsung ternyata tidak semerta-merta mewujudkan harapan dari demokrasi tersebut.
“Dalam kurang lebih dua puluh tahun terakhir, ritual demokrasi kita telah dilakukan secara berkala dan pemilihan langsung baik di eksekutif maupun legislatif telah menelan biaya yang sangat besar dalam memastikan, serta menyalurkan legitimasi rakyat, justru tidak sebanding dengan hasil pembangunan yang diharapkan”, lanjutnya.
Najamuddin menilai bahwa masalah lainnya dalam proses pemilihan langsung selama ini adalah rakyat hanya diberi kesan menjadi penentu dalam rekrutmen kepemimpinan nasional, padahal rakyat hanya memilih calon yang disodorkan oleh partai politik atau oleh elite politik secara perseorangan.
Terlepas dari berbagai tujuan amandemen kelima oleh MPR, sudah seharusnya sejak awal rencana ini dihentikan. Mengingat saat ini tak ada urgensi amandemen yang perlu dilakukan
Tidak dalam waktu dekat
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan keputusan terkait wacana amandemen UUD 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tidak akan dilakukan dalam waktu dekat.
Setidaknya amandemen baru akan dilakukan di tahun ketiga masa jabatan MPR RI 2019-2024 setelah menyerap hasil amandemen 1945. Selain menghidupkan kembali GBHN, wacana seperti mengembalikan wewenang MPR untuk memilih presiden serta penambahan masa jabatan presiden RI mengemuka. Namun ia menegaskan bahwa di dalamnya, tak ada pembahasan perpanjangan masa jabatan presiden.
Menghidupkan GBHN
Banyak orang yang menilai rencana MPR yang ingin menghidupkan kembali GBHN melalui amandemen kelima Undang-undang Dasar 1945 tidak tepat. Dikhawatirkan ada upaya untuk mengembalikannya seperti zaman Orde Baru. Terlepas dari berbagai tujuan amandemen kelima oleh MPR, sudah seharusnya sejak awal rencana ini dihentikan. Mengingat saat ini tak ada urgensi amandemen yang perlu dilakukan.
Berpeluang membunuh demokrasi
Dulu GBHN ada sebagai mandat yang diberikan MPR kepada presiden, karena presiden dipilih oleh MPR. Dengan model pemilihan presiden langsung oleh rakyat seperti sekarang, MPR tidak lagi relevan karena bukan lagi lembaga tertinggi negara. Apabila GBHN dihidupkan kembali imbasnya ialah sistem pertanggungjawaban presiden menjadi ganda, kepada Dewan Perwakilan Rakyat terkait pelaksanaan Undang-undang dan terhadap MPR dengan mengacu GBHN. Selain itu juga dikhawatirkan akan muncul gagasan menjadikan MPR kembali sebagai lembaga tertinggi negara dan bisa jadi kelanjutannya adalah presiden dipilih kembali oleh MPR. Hal tersebut sama saja ingin mengembalikan ke masa suram presidensial Indonesia tatkala jabatan presiden bisa berlarut-larut.
Pasca perubahan terakhir tahun 2002, nyaris tidak ada langkah politik secara konkret dari MPR untuk melakukan perubahan kelima sebagai agenda prioritas dan strategi negara
Bukan isu baru dalam diskursus publik
Pengusung dan motifnya mengundang tafsir ganda –apakah datang dari preferensi publik, atau sekadar pretensi para elite politik?.
Begitu pula, wacana menghidupkan kembali kewenangan MPR untuk menetapkan Haluan Negara (PPHN) harus dilihat secara sadar dan proposional.
Pasca perubahan terakhir tahun 2002, nyaris tidak ada langkah politik secara konkret dari MPR untuk melakukan perubahan kelima sebagai agenda prioritas dan strategis negara.
Perubahan UUD 1945 menjadi keniscayaan dalam merespons perkembangan kompleksitas kebutuhan konstitusional negara. Terlebih, kebutuhan terhadap optimalisasi kewenanangan, fungsi, dan kedudukan alat perlengkapan negara (lembaga negara). Singkatnya, perubahan konstitusi merupakan upaya pembenahan struktur tata negara, sehingga mendorong pada usaha tercapainya cita kenegaraan.
Eksistensi dan kedudukan MPR dalam struktur tata negara Indonesia pasca amandemen tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan menjadi sederajat dengan DPR, Presiden, DPD, BPK, MA, dan MK sebagai lembaga tinggi negara (primary state organ). Reduksi kedudukan MPR juga membuat kewenangannya menjadi sangat terbatas.
Sebelum amandemen, MPR sebagai pelaksana utama kedaulatan rakyat, sehingga diberikan kewenangan konstitusional untuk menetapkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan memilih presiden sebagai mandataris yang melaksanakan GBHN. Presiden sebagai mandataris wajib melaksanakan GBHN, jika MPR menilai bahwa presiden tidak menjalankan GBHN secara optimal, maka MPR berwenang meminta pertanggungjawaban dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya. Pada keadaan ini, presiden bertanggung jawab mutlak kepada MPR.
Perubahan kedudukan dan kewenangan MPR secara fundamental akibat perubahan Pasal 1 Ayat 2 yang menegaskan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Jika sebelum amandemen pelaksana kedaulatan rakyat adalah MPR, namun pasca amandemen memuat kalimat “menurut Undang Undang Dasar”, hal itu mengandung makna bahwa kedaulatan rakyat dilaksanakan secara kolektif oleh seluruh organisasi negara. Menurut Undang Undang Dasar (setelah perubahan), presiden dipilih langsung oleh rakyat, juga akibatnya bertanggung jawab secara langsung kepada rakyat.
Pergeseran pola pemilihan presiden dari MPR kepada rakyat secara langsung, telah menghilangkan status mengikat dan memaksa GBHN. Presiden tidak lagi bertanggung jawab untuk melaksanakan GBHN, begitu pula MPR tidak lagi berwenang untuk menetapkan GBHN. Kehadiran GBHN adalah konsekuensi hukum atas kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi yang berwenang memilih presiden.
Kedudukan presiden sebagai mandataris berkewajiban secara konstitusional untuk melaksanakan GBHN. Dalam hal ini, antara melaksanakan GBHN dan pertanggungjawaban presiden kepada MPR adalah satu kesatuan sistem yang tidak terpisah.
Konsolidasi dan Dukungan Politik
Wacana MPR untuk melakukan amandemen terbatas UUD 1945 telah memasuki fase konsolidasi politik. Tinggal menunggu digelarnya Sidang Umum MPR untuk mengesahkannya. Kompak, Ketua MPR dan Ketua DPD telah menunjukkan atensi dan keseriusan atas amandemen kelima dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR dan Pidato Kenegaraan Presiden dalam rangka peringatan HUT ke-76 RI, serta Sidang Bersama DPR dan DPD yang digelar Senin, 16 Agustus 2021.
Dalam pidatonya, Ketua MPR dan Ketua DPD menyinggung pentingnya kehadiran Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN) untuk menyongsong pembangunan Indonesia masa depan. Agenda amandemen kelima UUD 1945 kian menemukan momentum setelah sebelumnya Presiden juga memberikan persetujuan untuk melakukan amandemen terbatas.
Dikatakan terbatas karena amandemen akan direncanakan hanya dilakukan terhadap dua pasal, yakni Pasal 3 tentang penambahan kewenangan MPR dalam menetapkan PPHN, dan Pasal 23 yang menambah satu ayat mengatur tentang kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN dari pemerintah apabila dinilai bertentangan dengan PPHN.
Sangat besar peluang bagi MPR untuk segera mengadakan Sidang Umum. Berdasarkan ketentuan Pasal 37 UUD 1945, tahap pertama, memungkinkan usul perubahan untuk dilakukan apabila diajukan oleh minimal 1/3 dari jumlah anggota MPR. Dari jumlah 711 anggota MPR masa jabatan 2019-2024, hanya memerlukan pengajuan usulan tertulis beserta penjelasan pasal yang diubah dari 237 anggota MPR, dengan begitu Sidang Umum untuk membahas amandemen kelima UUD 1945 dapat digelar.
Tahap kedua, mengenai pembahasan perubahan pasal UUD 1945 harus dihadiri minimal 2/3 dari jumlah anggota MPR, yakni dihadiri sekurang-kurangnya 274 anggota MPR. Apabila telah memenuhi kuorum, maka tahap ketiga, putusan akhir untuk mengubah UUD 1945 yang harus disetujui oleh sekurang-kurangnya 50 persen ditambah 1 dari jumlah anggota MPR, yang berarti harus disetujui oleh minimal 336 dari seluruh anggota MPR.
Dengan jumlah anggota DPR 575 dan jumlah anggota DPD 136, maka untuk sampai pada tahap putusan akhir persetujuan atas perubahan pasal UUD 1945, Ketua MPR bersama Ketua DPR harus mengkonsolidasikan dukungan minimal setengah dari anggota DPR menyetujui usul perubahan, dan Ketua DPD, jika setengah dukungan dan persetujuan telah didapatkan dari anggota DPR, maka harus memastikan seluruh anggota DPD menyetujuinya.
Urgensi dan Implikasi PPHN
Wacana menghidupkan kembali GBHN tidak lebih sebagai pretensi para elite politik. Kehadiran GBHN pada era Orde Baru seolah menjadi inspirasi dan preferensi bagi kesuksesan pembangunan nasional yang berjangka. Kehadiran GBHN era Orde Baru adalah konsekuensi dari kedudukan dan status MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang diberikan kewenangan untuk memilih, meminta pertanggungjawaban dan memberhentikan Presiden.
Namun setelah perubahan UUD 1945, kewenangan MPR untuk memilih Presiden dan memberhentikan Presiden telah dihilangkan sehingga presiden tidak lagi berkewajiban menjalankan GBHN, dan MPR tidak lagi diberikan kewenangan untuk menetapkan GBHN.
Kehadiran PPHN upaya untuk merekonstruksi keberadaan GBHN yang eksis pada zaman Orde Baru. Situasi dan kondisi ketatanegaraan Indonesia sekarang sudah tidak lagi memungkinkan kehadiran GBHN sebagai bagian dari kewenangan MPR. Begitu pula wacana PPHN tidak memiliki urgensi dan dasar kebutuhan yang jelas. Kewenangan untuk menentukan Haluan Negara harus berkelindan dengan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban kepada eksekutif atas pelaksanaan Haluan Negara tersebut.
Kondisi ketatanegaraan Indonesia dewasa ini tidak lagi menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang dapat meminta pertanggungjawaban presiden. Kehadiran PPHN hanya relevan apabila presiden bertanggung jawab kepada MPR atas pelaksanaan PPHN. Namun setelah amandemen hal itu tidak lagi memungkinkan karena presiden dipilih langsung oleh rakyat dan hanya bertanggung jawab kepada rakyat secara langsung. Tidak ada implikasi hukum yang signifikan apabila presiden tidak melaksanakan PPHN.
Selain itu, sebagai ganti dari GBHN guna memberikan kepastian terhadap pembangunan yang berkelanjutan dan akuntabel, telah ada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Kehadiran UU a quo, telah memberikan dasar dan kejelasan yang komprehensif mengenai Haluan Negara dalam pembangunan nasional.
Dengan demikian, tidak perlu dan selayaknya tidak harus ada kewenangan MPR untuk menetapkan Haluan Negara (PPHN). Karena hal itu hanya akan sia-sia jika presiden sebagai pelaksana PPHN tidak bertanggung jawab kepada MPR. Begitu pula, MPR tidak bisa memberikan sanksi apabila presiden tidak menjalankan PPHN, juga tidak dapat dijadikan dalil mengajukan impeachment.
Wacana terbatas perubahan kelima UUD 1945 yang hanya menambahkan kewenangan MPR dalam menetapkan PPHN tidak urgen dan tidak lagi relevan. Perubahan UUD 1945 akan lebih konstruktif apabila dilakukan dalam rangka penguatan kewenangan legislasi DPD yang hingga kini diamputasi sepihak oleh DPR; pengaturan kedudukan lembaga negara independen; penambahan kewenangan constitusional question dan constitusional camplaint Mahkamah Konstitusi, serta optimalisasi kewenangan lembaga-lembaga negara lainnya.
Perubahan kelima UUD 1945 amat urgen dan mendesak untuk dilakukan, namun harus dilakukan secara sadar dan komprehensif untuk mengatasi berbagai problematika ketatanegaraan dan kompleksitas kebutuhan konstitusional negara.
- Penerima Subsidi Gaji 2021: Calon, Tahapan, Syarat, Cara Cek Lewat WhatsApp, Siapa yang lolos?
- Fenomena gelombang Panas Indonesia
Ingin Berkontribusi?
Masuk menggunakan akun microsite anda, apabila belum terdaftar silakan klik tombol di bawah.
- Serba-Serbi Hybrid Gairah Baru Usai Pandemi
- Peristiwa korban penganiayaan Jurnalis oleh oknum LSM LRM-GAK telah memasuki tahapan penyidikan
- Mengurai Persoalan Pelaksanaan Vaksinasi Di Daerah
- Gotong Royong, Kunci Suksesnya PPKM Level 4
- Manfaat Secondment, Knowledge Management dan Sinergi di Kementerian Keuangan
- Efisiensi Perencanaan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga Melalui Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2022
- 9 Aspek Keuangan Negara dalam UU Cipta Kerja Terkait Peningkatan Investasi
Attachment | Size |
---|---|
210710-Laporan Kajian Tata Kelola Alat Kesehatan Dalam Kondisi Covid-19_FINAL.pdf | 582.03 KB |
Baca juga :
- Bangkitkan Potensi Desa wisata, Desa sumberejo Sajikan Wisata Petik Buah Semangka
- Renungan muharram dalam acara detik pergantian tahun baru Hijriyah
- Lamongan Bisa Jadi Inspirasi untuk Melawan Covid-19
- SKK Migas Memulai Eksplorasi Diwilayah Beru Lamongan
- Menko PMK RI Kunjungi Gudang Farmasi Dinkes Gresik
- Lima Pejabat Resmi Daftarkan Diri sebagai Sekda Lamongan, Ini Penjelasannya