Kontroversi Vaksinasi Massal dengan BOR 19 %
4 min readBOR ICU untuk Rumah Sakit di Sumenep adalah nol persen, sedangkan BOR Isolasi 19 persen, Khofifah juga menerangkan standar WHO untuk BOR adalah 60 persen
Oleh Imam S Ahmad Bashori
Editor Munichatus Sa’adah
Forkopimda Jawa Timur, diantaranya Khofifah Indar Parawansa Gubernur Jatim, Mayjen TNI Suharyanto Pangdam V Brawijaya, serta Irjen Pol Dr. Nico Afinta Kapolda Jatim, pada Sabtu (12/6/2021) sore, meninjau vaksinasi massal di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Didampingi pejabat utama (PJU) Polda Jatim, serta Forkopimda Kabupaten Sumenep, Bupati, Dandim dan Kapolres, Kabupaten Sumenep, peninjauan vaksinasi massal ini dilaksanakan di Pendopo Agung Keraton, Kabupaten Sumenep, Madura.
Sebelumnya, peninjauan juga sudah dilakukan di beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur, diantaranya, Kediri, Lamongan, serta Bangkalan.
Untuk vaksinasi massal di Sumenep dilaksanakan di lima lokasi berbeda. Dengan target mencapai 1.500 orang, untuk prioritas sasaran lansia.
Lima lokasi yang digunakan sebagai tempat vaksinasi diantaranya, Pendopo Agung Keraton, Kantor Pemkab, Polres, Kodim dan Puskesmas Pamolokan.
Untuk setiap lokasi berjumlah 300 orang, guna mengantisipasi terjadinya kerumunan pada saat dilaksanakan vaksinasi.
Sangat bagus
Setelah meninjau peserta vaksinasi di pendopo agung Keraton Sumenep, Gubernur Jawa Timur menyebutkan, pada dasarnya di Sumenep ini kondisi pengendalian Covid-19 sangat bagus.
“Ini bisa dilihat dr Bed Occupancy Rate (BOR)”, kata Khofifah.
“BOR ICU untuk Rumah Sakit di Sumenep adalah nol persen, sedangkan BOR Isolasi 19 persen”, lanjutnya. Khofifah juga menerangkan standar WHO untuk BOR adalah 60 persen.
Sementara itu terkait dengan Kabupaten Bangkalan, ada empat kecamatan yang masuk katagori zona merah, dan menjadi perhatian lebih seksama, diantaranya Kecamatan Geger, Klampis, Arosbaya dan Kecamatan Kota.
“Pemprov juga memastikan bahwa seluruh puskesmas harus bisa memberikan layanan kepada masyarakat dan tidak boleh ada layanan kesehatan yang terhenti. Seperti layanan persalinan serta layanan rawat jalan juga dipastikan berjalan seperti semula”, tegas Khofifah.
Mengenal Bed Occupancy Rate
Dalam rangka melindungi penyelenggaraan rumah sakit, tenaga kesehatan dan melindungi pasien maka rumah sakit perlu mempunyai peraturan internal rumah sakit yang bias disebut hospital by laws.
Peraturan tersebut meliputi aturan-aturan berkaitan dengan pelayanan kesehatan, ketenagaan, administrasi dan manajemen.
Bentuk peraturan internal rumah sakit (HBL) yang merupakan materi muatan pengaturan dapat meliputi antara lain: Tata tertib rawat inap pasien, identitas pasien, hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah sakit, informed consent, rekam medik, visum et repertum, wajib simpan rahasia kedokteran, komete medik, panitia etik kedokteran, panitia etika rumah sakit, hak akses dokter terhadap fasilitas rumah sakit, persyaratan kerja, jaminan keselamatan dan kesehatan, kontrak kerja dengan tenaga kesehatan dan rekanan.
Bed Occupancy Rate ialah Persentase pemakaian tempat tidur pada satu satuan waktu tertentu.
Indikator ini memberikan gambaran tinggi rendahnya tingkat pemanfaatan dari tempat tidur rumah sakit.
Adapun rumus Bed Occupancy Rate adalah sebagai berikut:
Prosentase ini menunjukkan sampai berapa jauh pemakaian tempat tidur yang tersedia di rumah sakit dalam jangka waktu tertentu.
Bila nilai ini mendekati 100 berarti ideal tetapi bila BOR Rumah Sakit 60-80% sudah bisa dikatakan ideal.
BOR antara rumah sakit yang berbeda tidak bisa dibandingkan oleh karena adanya perbedaan fasilitas rumah sakit, tindakan medik, perbedaan teknologi intervensi. Semua per bedaan tadi disebut sebagai “case mix”.
Beberapa Batasan Dalam Penghitungan BOR
Umumnya, hal-hal yang berkaitan dengan bayi baru lahir (perinatal) akan dicatat; dihitung; dan dilaporkan secara terpisah.
Jadi, jumlah TT dalam rumus BOR tidak termasuk TT bayi baru lahir (bassinet) dan jumlah hari perawatan (HP) dalam rumus BOR juga tidak termasuk HP bayi baru lahir.
Apabila menggunakan data dari lembar laporan RL-1, maka jumlah HP diambil dibaris SUB TOTAL (yaitu baris sebelum ditambah perinatologi), bukan baris TOTAL.
Periode penghitungan BOR ditentukan berdasarkan kebijakan internal RS, bisa bulanan, tribulan, semester, atau bahkan tahunan.
Lingkup penghitungan BOR juga ditentukan berdasarkan kebijakan internal RS, misalnya BOR per bangsal atau BOR untuk lingkup rumah sakit (seluruh bangsal).
Penerapan BOR
BOR dihitung dengan cara membandingkan jumlah TT yang terpakai (O) dengan jumlah TT yang tersedia (A). Perbandingan ini ditunjukkan dalam bentuk persentase (%).
Jadi, rumus dasar untuk menghitung BOR yaitu: BOR = (O/A) x 100%
Lihat gambar diatas
Rata-rata jumlah TT terpakai dalam suatu periode (O) sama dengan jumlah HP dalam periode tersebut dibagi dengan jumlah hari dalam periode yang bersangkutan (t), atau O = (jumlah HP) / t
Maka, misalnya BOR untuk bulan Januari 2014 dapat dihitung : BOR = ((jumlah HP Januari) / (A x t)) x 100%
Misalnya dalam bulan Januari 2014 tersedia 10 TT dan tercatat total HP periode Januari 2014 = 23.436, maka BOR periode Januari 2014 = (23.436 / (10×31)) x 100%= 75,6 %
BOR Dengan Perubahan Jumlah TT
Jika terjadi perubahan jumlah TT dalam periode yang akan dihitung BOR-nya, maka BOR dapat dihitung dengan cara seperti contoh berikut ini :
misalnya, RS.Mahindra memiliki TT tersedia 50. Pada tanggal 25 Januari 2014 terjadi penambahan 5 TT. Jumlah total HP hingga akhir periode Januari 2014 = 1250. Maka untuk menghitung BOR periode Januari 2014 yaitu :
(1.250 / ((50×24)+(55×7))) x 100% = 78,9 %
BOR Untuk Perinatologi
Cara menghitung BOR kelompok bayi baru lahir (perinatologi) pada prinsipnya sama dengan rumus BOR diatas, hanya saja yang digunakan adalah angka perinatologi. Jadi, jumlah TT yang tersedia adalah jumlah TT perinatologi (bassinet) dan jumlah HP adalah HP dari kelompok perinatologi.
Nilai Ideal BOR
Semakin tinggi nilai BOR berarti semakin tinggi pula penggunaan TT yang ada untuk perawatan pasien. Namun perlu diperhatikan bahwa semakin banyak pasien yang dilayani berarti semakin sibuk dan semakin berat pula beban kerja petugas di unit tersebut.
Akibatnya, pasien bisa kurang mendapat perhatian yang dibutuhkan (kepuasan pasien menurun) dan kemungkinan infeksi nosokomial juga meningkat.
Disisi lain, semakin rendah BOR berarti semakin sedikit TT yang digunakan untuk merawat pasien dibandingkan dengan TT yang telah disediakan. Jumlah pasien yang sedikit ini bisa menimbulkan kesulitan pendapatan ekonomi bagi pihak RS.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut diatas maka perlu adanya suatu nilai ideal yang menyeimbangkan kualitas medis, kepuasan pasien, keselamatan pasien, dan aspek pendapatan ekonomi bagi pihak RS.
Nilai ideal untuk BOR yang disarankan adalah 75% – 85%. Angka ini sebenarnya tidak bisa langsung digunakan begitu saja untuk semua jenis RS. RS penyakit khusus tentu beda polanya dengan RSU. Begitu pula RS disuatu daerah tentu beda penilaian tingkat “kesuksesan” BOR-nya dengan daerah lain. Hal ini bisa dimungkinkan karena perbedaan sosial budaya dan ekonomi setempat.
Nah, bagaimana pengalaman Anda dalam menghitung BOR di RS yang pernah anda lihat ?