November 22, 2024 Login Daftar

Suaradesaku.net

Situs Informasi Terbaru & Terakurat

Kontroversi tradisi mudik: Asal usul, Kajian, Pandemi, sampai dengan Penyekatan

10 min read

Mudik telah menjadi bagian yang tak terpisahkan bagi masyarakat Indonesia. Masyarakat yang berada di perkotaan biasanya berbondong-bondong pulang ke kampung halaman untuk merayakan Lebaran

Oleh Imam S Ahmad Bashori, Moh Ardi, Nurul Huda, Moh Atiqur Rochman, S Aliyah
Editor Munichatus Sa’adah

Di tengah pandemi Covid-19, pemerintah melarang mudik sebagai upaya untuk menghentikan penyebaran virus.

Selain untuk membatasi pergerakan orang dalam jumlah besar, larangan mudik juga dimaksudkan untuk saling melindungi diri dan keluarga di rumah.

Padahal, mudik merupakan salah satu tradisi lebaran yang banyak ditunggu para perantau untuk kembali ke kampung halaman.

 

Kajian mudik

Mudik (oleh KBBI disinonimkan dengan istilah pulang kampung[1]) adalah kegiatan perantau/pekerja migran untuk pulang ke kampung halamannya.[2] Mudik di Indonesia identik dengan tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya besar keagamaan misalnya menjelang Lebaran. Pada saat itulah ada kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara yang tersebar di perantauan, selain tentunya juga sowan dengan orang tua. Transportasi yang digunakan antara lain: pesawat terbang, kereta api, kapal laut, bus, dan kendaraan pribadi seperti mobil dan sepeda motor, bahkan truk dapat digunakan untuk mudik. Tradisi mudik muncul pada beberapa negara berkembang dengan mayoritas penduduk Muslim, seperti Indonesia dan Bangladesh.[3]

Sepeda motor yang akan menyeberang pada saat mudik di Merak

Etimologi

Kata mudik berasal dari kata “udik” yang artinya selatan/hulu.[4] Pada zaman dahulu sebelum di Jakarta terjadi urbanisasi besar-besaran, masih banyak wilayah yang bernama akhir udik atau ilir (utara atau hilir) dan kebanyakan akhiran itu diganti dengan kata Melayu selatan atau utara. Contohnya seperti Meruya UdikMeruya IlirSukabumi UdikSukabumi Ilir, dan sebagainya.[5]Pada saat Jakarta masih bernama Batavia, suplai hasil bumi daerah kota Batavia diambil dari wilayah-wilayah di luar tembok kota di selatan. Karena itu, ada nama wilayah Jakarta yang terkait dengan tumbuhan, seperti Kebon Jeruk, Kebon Kopi, Kebon Nanas, Kemanggisan, Duren Kalibata, dan sebagainya. Para petani dan pedagang hasil bumi tersebut membawa dagangannya melalui sungai. Dari situlah muncul istilah milir-mudik, yang artinya sama dengan bolak-balik. Mudik atau menuju udik saat pulang dari kota kembali ke ladangnya, begitu terus secara berulang kali.[6][7]

Angkutan mudik

Beban yang paling berat yang dihadapi dalam mudik adalah penyediaan sistem transportasinya karena secara bersamaan jumlah masyarakat menggunakan angkutan umum atau kendaraan melalui jaringan jalan yang ada sehingga sering mengakibatkan penumpang/pemakai perjalanan menghadapi kemacetan, penundaan perjalanan.

Statistik Mudik 

Jumlah mudik lebaran yang terbesar dari Jakarta adalah menuju Jawa Tengah. Secara rinci prediksi jumlah pemudik tahun 2014 ke Jawa Tengah mencapai 7.893.681 orang. Dari jumlah itu didasarkan beberapa kategori, yakni 2.023.451 orang pemudik sepeda motor, 2.136.138 orang naik mobil, 3.426.702 orang naik bus, 192.219 orang naik kereta api, 26.836 orang naik kapal laut, dan 88.335 orang naik pesawat.[8] Bahkan menurut data Kementerian Perhubungan Indonesia menunjukkan tujuan pemudik dari Jakarta adalah 61% Jateng dan 39% Jatim. Ditinjau dari profesinya, 28% pemudik adalah karyawan swasta, 27% wiraswasta, 17% PNS/TNI/POLRI, 10% pelajar/mahasiswa, 9% ibu rumah tangga dan 9% profesi lainnya. Diperinci menurut pendapatan pemudik, 44% berpendapatan Rp. 3-5 Juta, 42% berpendapatan Rp. 1-3 Juta, 10% berpendapatan Rp. 5-10 Juta, 3% berpendapatan dibawah Rp. 1 Juta dan 1% berpendapatan di atas Rp. 10 Juta.[9]

Insiden

Pada tanggal 1 Juli 2016, terjadi kemacetan total di pintu keluar tol Brebes Timur pada masa mudik lebaran.[10] Dalam peristiwa tersebut, mobil dan kendaraan bermotor lainnya berhenti sampai lebih dari 20 jam di ujung jalan tol.[11] Kemacetan tersebut juga menyebabkan dua belas orang pengguna kendaraan bermotor hingga meninggal dunia.[12] Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan Sugihardjo, kemacetan di ruas tol Pejagan-Brebes Timur menuju arah Tegal disebabkan tiga faktor utama, yaitu ribuan kendaraan yang melintas di jalan tol Pejagan-Brebes Timur tidak mampu ditampung jalan arteri, banyak pemudik yang menyerobot antrean lajur menuju SPBU, dan petugas di lapangan terlambat melakukan pengalihan arus sehingga lalu lintas macet total serta sulit diurai karena banyak pemudik berhenti di pinggir jalan karena kelelahan menghadapi kemacetan.[13]

Media massa menyingkat tol Brebes Timur Exit menjadi “Brexit”, berdasarkan keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa.[14]

Kontroversi

Pada tanggal 23 April 2020, Presiden Jokowi mengklaim bahwa mudik dan pulang kampung memiliki arti yang berbeda.[15] Meski di KBBI mudik berarti sama dengan pulang kampung,[16] beberapa ahli ada yang membenarkan pernyataan presiden Jokowi tersebut[17]. Pada tanggal 28 Mei 2020, Menhub Budi Karya menganggap tidak ada perbedaan dalam kata mudik dan pulang kampung.[18]

 

Bermula dari Momen Pengakuan Kesuksesan Diri

Bukan hanya sekadar merayakan Lebaran, tradisi mudik di Indonesia dinilai memiliki kekhasan dibandingkan dengan negara lain yang juga punya tradisi serupa seperti China saat Imlek dan Amerika Serikat saat Natal.

Tradisi mudik di Indonesia dinilai sebagai ajang silaturahmi dan pengakuan kesuksesan bagi orang yang bermigrasi.

 

Awal fenomena mudik

Bagi penduduk lain yang berdomisili di desa, Jakarta menjadi salah satu kota tujuan impian untuk mereka mengubah nasib. Lebih dari 80 persen para urbanis datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan.  Mereka yang sudah mendapatkan pekerjaan biasanya hanya mendapatkan libur panjang pada saat lebaran saja. Momentum inilah yang dimanfaatkan untuk kembali ke kampung halaman.

Hal ini terus berlanjut dan semakin berakar ketika banyak urbanis yang mencoba peruntungannya di kota. Tidak hanya di Jakarta, tradisi perpindahan penduduk dari desa ke kota juga terjadi di ibukota provinsi lainnya di Indonesia. Terlebih dengan diterapkan otonomi daerah pada tahun 2000, maka orang semakin banyak mencari peruntungan di kota.

Sama seperti halnya di Jakarta, mereka yang bekerja di kota hanya bisa pulang ke kampung halaman pada saat liburan panjang yakni saat libur lebaran. Sehingga momentum ini meluas dan terlihat begitu berkembang menjadi sebuah fenomena.

Namun masyarakat memang tidak bisa meninggalkan tradisi mudik ini. Ada hal-hal yang membuat perantau wajib melaksanakan pulang kampung. Pertama mudik menjadi jalan untuk mencari berkah karena bisa bersilaturahmi dengan keluarga, kerabat dan tetangga. Kegiatan ini juga menjadi pengingat asal usul daerah bagi mereka yang merantau.

Tradisi mudik bagi perantau di ibu kota juga bertujuan menunjukkan eksistensi keberhasilannya. Selain itu, juga ajang berbagi kepada sanak saudara yang telah lama ditinggal untuk ikut merasakan keberhasilannya dalam merantau. Mudik juga menjadi terapi psikologis memanfaatkan libur lebaran untuk berwisata setelah setahun sibuk dalam rutinitas pekerjaan sehingga saat masuk kerja kembali memiliki semangat baru,

 

Sudut pandang praktisi

Sejak kapan fenomena mudik ini berkembang di Indonesia?. Berikut Kontroversi.or.id tayangkan dalam beberapa versi masing-masing sudut pandang praktisi:

 

Dwi Winarno

Sosiolog Dwi Winarno menjelaskan, tradisi mudik di Indonesia mulai terjadi pada sekitar tahun 1970-1980-an, saat beberapa kota di Indonesia tumbuh menjadi kota besar. Kota-kota besar ini umumnya dibangun oleh para pendatang yang bermigrasi dari desa ke kota.

Ketika Hari Raya Idul Fitri, mereka kembali ke kampung halaman sebagai ajang untuk menunjukkan kesuksesan.

“Jadi, awal mulanya ketika mudik berbarengan hari raya, mereka mencari legitimasi sosial kesuksesan di kota besar dan ingin membangun persepsi sukses. Bahwa mereka mendapat pekerjaan, gaji yang besar, hidup yang yang mewah dibandingkan di desa”, kata Dwi kepada awak media beberapa waktu lalu jelang Lebaran.

 

Versi Silverio R Lilik Aji Sampurno (Univ Sanata Dharma)

Dosen sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Silverio Raden Lilik Aji Sampurno mengungkapkan, mudik sudah ada sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam.

Sejarah mudik bermula dari kekuasaan Majapahit yang luas hingga Sri Lanka dan Semenanjung Malaya. Untuk menjaga wilayah kekuasaannya yang luas, sang raja menempatkan pejabat di berbagai daerah.

Suatu waktu, pejabat-pejabat itu pulang untuk menghadap raja dan mengunjungi kampung halaman.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Mataram Islam untuk menjaga wilayah kekuasaan. Di Mataram Islam, pejabatnya pulang secara khusus ketika Idul Fitri datang.

Kedua hal itulah yang menjadi asal mula tradisi mudik di Indonesia.

Istilah mudik sendiri baru tren pada tahun 1970-an sebagai sebuah tradisi yang dilakukan oleh perantau di berbagai daerah untuk kembali ke kampung halamannya, untuk berkumpul bersama dengan keluarga.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mudik memiliki arti “ke udik” serta “pulang ke kampung halaman”.

Sementara dalam Bahasa Jawa Ngoko, mudik berasal dari kata “Mulih Disik” yang artinya pulang dulu.

Ini diartikan juga dengan pulang yang hanya sebentar untuk melihat keluarga setelah lama tinggal di tanah rantau.

Sedangkan, orang Betawi mengartikan mudik sebagai “Kembali ke Udik”. Dalam bahasa Betawi, udik sendiri memiliki arti kampung.

 

JJ Rizal (Universitas Indonesia)

Aktivitas pulang kampung ini sendiri dapat ditelusuri hingga era Batavia, pemerintahan kolonial Hinda-Belanda. Sejarawan lulusan Universitas Indonesia (UI) JJ Rizal mengidentifikasi tradisi mudik dengan aktivitas di Batavia, di mana saat itu sudah membutuhkan banyak tenaga kerja sejak dua abad silam. (Minggu,18/4/2021)

“Terutama kata mudik ini identik dengan Batavia, ibu kota kolonial yang kemudian diwarisi Jakarta sebagai ibu kota nasional serta menjadi pusat urbanisasi”, lanjut Rizal.

Lebih lanjut, kata udik berarti kembali ke titik awal mula aliran sungai, alias di hulu, letaknya di desa yang jauh dari hilir di Batavia. Istilah mudik kemudian berkembang menjadi bermakna pulang kampung bagi kaum buruh/pekerja. Sebab, kaum buruh di Batavia memang banyak yang bukan penduduk asli melainkan dari luar daerah.

“Mudik adalah tradisi kota, timbul bersama munculnya kota-kota di Indonesia. Berita yang ada kebanyakan ketika muncul kota-kota masa kolonial di Indonesia dan gejala urbanisasi pada abad 19 (1801-1900). Ada jarak kota dengan desa yang sering disebut udik. Jadilah kembali ke desa disebut mudik”, terang Rizal.

Memang, aktivitas mudik dari Jakarta ke desa-desa di luar Jakarta sudah ada sejak era kolonial. Namun, gencarnya aktivitas mudik sebenarnya baru dimulai di era Orde Baru. Saat periode Gubernur Jakarta Ali Sadikin (1966-1977), mudik berkembang menjadi tradisi besar.

“Karena menyangkut perpindahan orang dari desa ke kota yang semakin besar dan berimplikasi luas bagi banyak hal, mulai dari transportasi sampai kriminalitas. Ini terutama setelah masa Ali Sadikin, ketika posisi warga asli, yakni Betawi, bukan lagi nomer satu, digantikan urban Jawa, Sunda, dan lain lain,” kata Rizal.

Semakin gencar dan sukses proyek pembangunan di Jakarta, semakin banyak buruh-buruh dari pelosok desa datang ke Jakarta. Banyaknya jumlah pendatang ke Jakarta berbanding lurus dengan kehebohan mudik tiap Lebaran.

 

Rumadi Ahmad (Wahid Institut)

Peneliti senior The Wahid Institute, Rumadi Ahmad, dalam tulisannya di kolom detikcom menjelaskan, dalam Idul Fitri juga ada tradisi halalbihalal, yang merupakan tradisi khas Islam Nusantara.

Meski menggunakan struktur bahasa Arab, kata ini tidak dikenal di dunia Arab. Kata ‘halalbihalal’ merupakan kreativitas muslim Nusantara. Meski tradisi saling memaafkan merupakan ajaran Islam, pengemasan dalam aktivitas yang disebut halalbihalal merupakan karya khas muslim Nusantara.

 

21,6 juta pemudik (selalu naik)

Berdasarkan data dari Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan Kementerian Perhubungan, jumlah pemudik selama masa Lebaran mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir. Pada 2018 jumlah pemudik mencapai 21,6 juta orang, meningkat dari 2017 sebanyak 20,3 juta orang.

Pada tahun ini, jumlah pemudik diprediksi mencapai 23 juta orang. Jumlah yang tinggi ini membuat Indonesia menjadi negara dengan mobilisasi paling tinggi saat Lebaran.

Saat ini, kata Dwi, tradisi mudik mengalami pergeseran makna karena bukan lagi pengakuan kesuksesan, tapi juga untuk bersilaturahmi atau bertemu dengan keluarga.

“Sekarang mengalami perubahan untuk bertemu keluarga dan teman di masa kecil. Hari raya jadi waktu yang ideal untuk itu,” ucap Dwi.

Waktu Hari Raya Idul Fitri dipilih karena mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam dan pada masa itu pula ada kesempatan libur yang panjang bagi para pekerja.

“Liburnya panjang, jadi memungkinkan mereka melakukan banyak aktivitas di kampung, seperti nostalgia dan refleksi kehidupan di kota,” tutur Dwi.

 

Mudik di negara lain

Mudik alias pulang kampung sudah menjadi tradisi turun-temurun yang dilakukan masyarakat Indonesia tiap jelang lebaran.

Biasanya, tujuannya adalah untuk berkumpul, bertemu, dan bersilaturahim dengan keluarga di kampung halaman. Tetapi, sebenarnya tradisi mudik ini bukan hanya ada di Indonesia, ada beberapa negara lain yang juga memiliki tradisi yang mirip dengan tradisi mudik di Indonesia.

anekainfounik.net

  1. Malaysia

Malaysia adalah negara yang masih serumpun dengan Indonesia, sehingga ada beberapa tradisi dan kebudayaan yang mirip dengan Indonesia, salah satunya yaitu tradisi mudik saat menjelang Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri. Bedanya, istilah yang mereka pakai adalah Balek Kampung yang biasa mereka lakukan seminggu sebelum Lebaran. Sedangkan Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri biasa mereka sebut dengan istilah Hari Raya Puasa.

  1. Mesir

Negara Mesir juga memiliki tradisi mudik, cuma bedanya mudik di Mesir sedikit berbeda dengan mudik di Indonesia, karena kebanyakan masyarakat muslim di sana menganggap Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri adalah hari raya kecil.

 

eraizes.ipsantarem.pt

  1. Turki

Turki adalah salah satu negara dengan jumlah penduduk mayoritas muslim di dunia, sehingga Hari Raya Idul Fitri disana dirayakan dengan sangat meriah. Biasanya, Perayaan Idul Fitri di sana disebut dengan istilah Seker Bayram. Tujuan mudik di Turki adalah untuk bersilaturahim dengan keluarga atau kerabat lainnya dan berziarah. Berziarah di sana dilakukan secara besar-besaran, hal ini biasanya ditandai dengan adanya beberapa pasar bunga di beberapa daerah.

Idul Fitri di Turki dikenal dengan istilah Bayram. Saat berjumpa dengan sesama muslim selama lebaran, mereka akan saling mengucapkan salam “Bayraminiz Kutlu Olsun”, “Mutlu Bayramlar”, atau “Bayraminiz Mubarek Olsun”. Ketiganya memiliki arti yang hampir sama yaitu selamat merayakan Hari Raya Bayram.

 

ciricara.com

  1. India

Muslim di India juga mengenal tradisi mudik, bahkan fenomena mudik di sana lebih heboh daripada di Indonesia, di mana saat menjelang perayaan Idul Fitri, umat muslim di India akan berbondong-bondong pulang ke kampung halaman masing-masing. Tetapi, puncak arus mudik yang besar di India akan terjadi di hari Festival of Lights atau Diwali.

Negara ini juga memiliki perayaan Lebaran yang meriah, meskipun jumlah umat muslimnya tergolong minoritas. Salah satu kemeriahan lebaran di India terasa saat mudik. Tetapi, arus mudik lebaran lebih kecil dibandingkan pada bulan Oktober hingga November.

Saat itu, sebagian besar warga India akan merayakan “Festival of Lights alias Dilwali”. Perayaan ini meriahnya sama dengan perayaan Idul Fitri di negara-negara Islam. Warga India akan berbondong-bondong pulang ke kampung halaman mereka.

Pemandangan mudik di negara ini lebih heboh dibanding di Indonesia. Transportasi umum seperti kereta api akan penuh sesak hingga banyak warga yang bergelantungan di pintu, jendela hingga di atap kereta.

 

uangteman.com

5. Arab Saudi

Tradisi mudik juga dilakukan warga muslim di Arab Saudi menjelang Hari Raya Idul Fitri. Mengingat negara ini mayoritas penduduknya adalah muslim. Apalagi, Arab memiliki Kabah sebagai tempat ibadah paling suci umat Islam. Tak heran tiap lebaran, perayaannya selalu meriah sekali.

Biasanya, masing-masing daerah menggelar festival yang menampilkan pagelaran teater, pertunjukan musik, dan kesenian lainnya. Keluarga yang merantau akan pulang, sedangkan anggota keluarga yang tinggal di rumah akan mendekorasi rumahnya seindah mungkin dan menyiapkan aneka masakan khas Lebaran.

 

ciricara.com6. Tiongkok

Jumlah penduduk Tiongkok untuk sekarang mencapai lebih dari satu miliar jiwa. Sekitar 18 juta penduduk memeluk agama Islam. Penduduk beragama Islam kebanyakan tinggal di Xinjiang dan Yunnan. Kedua kota itu selalu merayakan Lebaran secara meriah.

Tradisi mudik di Tiongkok tidak hanya berlangsung saat lebaran saja. Pulang kampung dengan arus yang paling padat terjadi pada saat perayaan tahun baru Tiongkok, yang dikenal dengan Imlek. Perayaan Imlek di Tiongkok jauh lebih meriah dibanding Hari Raya Idul Fitri.

 

4870cookie-checkKontroversi tradisi mudik: Asal usul, Kajian, Pandemi, sampai dengan Penyekatan

Leave a Reply

Copyright © All rights reserved. | Newsphere by AF themes.