November 21, 2024 Login Daftar

Suaradesaku.net

Situs Informasi Terbaru & Terakurat

Kontroversi Pemasaran Produk Desa (Sebagai Referensi)

13 min read

Pemasaran Produk Desa

Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Wamendes PDTT), Budi Arie Setiadi melakukan pertemuan dengan Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag), Jerry Sambuaga di ruang kerjanya, Jakarta, Kamis (1/4).

Pertemuan tersebut membahas upaya mempermudah akses pemasaran produk-produk desa.

Budi Arie mengatakan, “produk-produk desa semakin hari semakin menunjukkan kuantitas dan kualitas yang cukup signifikan. Namun menurutnya, tingginya jumlah produksi di desa tak sejalan dengan akses pasar yang ada”.

“Setelah keliling Indonesia, saya lihat kendalanya (produk desa) satu, soal BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) sama soal pemasaran. Desa-desa sudah banyak yang bagus, tapi pemasarannya memang belum maksimal,” ujarnya.

Budi Arie mengatakan, “salah satu cara untuk meningkatkan ekonomi masyarakat desa adalah mendorong masyarakat desa untuk terus berproduksi. Untuk itu, dibutuhkan kemudahan akses pasar yang mumpuni untuk menampung hasil produksi tersebut”.

Sebab menurutnya, tidak ada rumus lain dalam mensejahterakan masyarakat desa kecuali menyelesaikan persoalan ekonomi.

“Persoalan jika ada kualitas produksinya yang kurang bagus, itu bisa dibina. Jangan underestimate (meremehkan) terhadap kreativitas dan produk anak-anak muda di daerah. Karena sebenarnya orang-orang kita jago-jago”, ungkapnya.

 

Menawarkan SRG di berbagai daerah

Di sisi lain, Jerry Sambuaga menawarkan pemanfaatan Sistem Resi Gudang (SRG) yang telah dibangun di berbagai daerah sebagai tempat menyimpan komoditi masyarakat desa saat panen raya. Saat ini, setidaknya telah terbangun sebanyak 123 SRG di seluruh Indonesia.

“Banyak gudang (SRG) yang kita hibahkan yang ternyata tidak dikelola dengan baik. Bahkan banyak yang rusak gudangnya. Maka dengan adanya koordinasi ini harapannya bisa lebih bermanfaat”, ujarnya.

 

Makna Resi gudang

Resi gudang atau dalam bahasa asing disebut warehouse receipt adalah dokumen bukti kepemilikan barang yang disimpan di suatu gudang terdaftar secara khusus yang diterbitkan oleh pengelola gudang itu. Ini hanya berlaku kalau semua persyartan yang ditentukan UU no 9 tahun 2006 Sistem Resi Gudang sudah dipenuhi. Resi Gudang yang diterbitkan sesuai Kitab UU Perdagangan bukan Resi Gudang dalam arti ini. Dalam UU Sistem Resi Gudang tahun 2006 itu, Resi Gudang dapat dipindahtangankan cukup dengan endorsement. Resi Gudang dengan itu menjadi “Negotiable”

Gudang di sini artinya bisa macam-macam, tergantung komoditas yang disimpan, mulai dari, coklat, kopi, beras, hingga minyak sawit (crude palm oil-CPO). Resi gudang ini nantinya bisa digunakan sebagai jaminan atas kredit dari perbankan.

Oleh karena resi gudang merupakan bukti kepemilikan, maka resi gudang ini dapat diperdagangkan, diperjual belikan, dipertukarkan, ataupun digunakan sebagai jaminan bagi pinjaman, maupun dapat digunakan untuk penyerahan barang dalam transaksi derivatif seperti halnya kontrak berjangka (futures contract).

Namun sayangnya penggunaan resi gudang ini masih sangat terbatas karena kebanyakan negara belum bersedia menerima konsep bukti kepemilikan atas barang gerak.

Biasanya bukti kepemilikan hanya ada untuk barang tidak gerak. Penyimpangan yang sudah ada adalah Bill of Lading (Konosemen) yang juga merupakan Bukti Kepemilikan atas barang gerak dan juga dapat dipindahtangankan dengan endorsement.

  1. Kurangnya pengertian tentang beda antara Resi Gudang berdasar UU No 9 tahun 2006 dengan ceel verdasarkan Kitab Undang Undang Hukum Dagang
  2. Sistem perdagangan resi gudang ini belum terlalu dikenal oleh kalangan para pelaku komersial, termasuk kalangan perbankan maupun kalangan yang menggunakan resi gudang itu sendiri

Manfaat sistem resi gudang

Beberapa manfaat sistem resi gudang ex UU No 9 tahun 2006 ini antara lain:

  1. Untuk Komoditas yang jarang terjadi backwardation, Sistem resi gudang ini dapat memperkuat daya tawar-menawar petani serta menciptakan efisiensi di dunia agrobisnis, dimana petani bisa menunda penjualan komoditi setelah panen, sambil menunggu harga membaik kembali, dengan menyimpan hasil panen mereka di gudang-gudang tertentu yang memenuhi persyaratan. Dan apabila si petani ingin melanjutkan kegiatan bercocok tanamnya, maka kebutuhan modal petani bisa dicukupi dengan adanya mekanisme pembiayaan dari sistem resi gudang ini, sehingga saat harga komoditas di pasaran sudah mulai membaik, petani bisa menjual hasil panen itu, sambil melunasi kewajibannya kepada bank. Namun sayangnya, kebijakan penetapan harga dasar oleh pemerintah sering kali dibuat sedemikian rupa sehingga pengharapan ini tidak tercapai, dimana harga dasar ini sering kali dibuat sehingga harga antara panen dan masa sesudah panen menjadi tetap dan seragam diseluruh wilayah negara. Selain daripada itu pula, suku bunga yang berlaku sering kali lebih tinggi pada negara-negara berkembang sehingga meminjam uang dengan jaminan stok gudang menjadi tidak layak karena beban pinjaman tersebut tidak dapat ditutupi dengan adanya kenaikan harga seperti yang diharapkan.
  2. Tersedianya sistem resi gudang ini akan memungkinkan bagi pemilik resi gudang untuk meminjam di luar negeri dalam mata uang yang bunganya lebih rendah utamanya apabila pinjaman tersebut dibuat dengan jaminan resi gudang komoditas ekspor maka dengan cara demikian dapat dilakukan
  3. Lindung nilai (hedging) terhadap nilai tukar valuta asing yang menjadi pinjaman.

Praktik ini dilakukan di Kenya dan Uganda, dimana sediaan kopi sering kali diagunkan sebagai pinjaman dalam mata uang pound sterling.

  1. Resi gudang ini dapat digunakan bagi petani dalam membiayai proses penananam lahan dan juga bagi pabrikan dapat digunakan untuk membiayai persediaan bahan baku. Apabila terjadi cedera janji atas suatu kewajiban yang dijamin dengan resi gudang tersebut, misalnya pinjaman bank maka si pemegang resi gudang memiliki hak utama atas komoditas acuan atau nilai yang setara dengannya.
  2. Memobilisasi kredit ke sektor pertanian. Adanya kepastian jaminan dari pihak gudang tertentu yang telah disetujui oleh insitusi tertentu memberikan keyakinan bagi pihak bank untuk memberikan pinjaman atas jaminan resi gudang tersebut kepada para petani atau pedagang yang menyimpan barangnya di gudang tersebut.
  3. Resi gudang dapat digunakan untuk mendapatkan dana dengan repo dan sebagai aset acuan pada kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa berjangka yang ada sehingga meningkatkan nilai kompetisinya. Resi gudang ini dapat dijadikan komoditas perdagangan sepanjang tersedianya semua informasi penting yang dibutuhkan untuk terlaksananya transaksi antara penjual dan pembeli.
  4. Dapat dijadikan instrumen kontrak serah, yaitu apabila pada suatu transaksi terjadi kesepakatan untuk melakukan penyerahan barang pada suatu masa mendatang yang ditentukan maka resi gudang ini dapat dijadikan suatu bentuk kontrak serah yang penyerahan barangnya dilakukan dengan sistem yang diatur dalam kontrak berjangka.
  5. Memperkecil fluktuasi harga, dimana petani tidak perlu menjual barangnya segera setelah panen yang biasanya harganya sangat rendah (penjualan terpaksa). Dengan menahan barangnya beberapa waktu diharapkan harga menjadi lebih baik.
  6. Mengurangi risiko di pasar-pasar produk pertanian, memperbaiki sistem pengamanan pangan dan terbukanya akses kredit bagi pedesaaan.
  7. Mendorong memperbaiki mutu dan transparansi bagi industri pergudangan karena harus mematuhi peraturan tertentu dan dilakukan pengawasan.
  8. Membantu menciptakan pasar-pasar komoditas atas dasar persaingan, informasi pasar, dan perdagangan internasional.
  9. Mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah dalam perdagangan produk pertanian.
  10. Memperkecil kerugian setelah panen karena sistem penyimpanan yang baik.
  11. Biaya transaksi menjadi lebih murah karena jumlah dan mutu komoditas yang ditransaksikan telah terjamin.
  12. meningkatkan kesadaran pentingnya mutu yang baik bagi para pihak yang terkait dengan usaha komoditas pertanian.

Bentuk resi gudang

Resi gudang dikenal dalam 2 bentuk yaitu:

  • Resi gudang yang dapat diperdagangkan (“negotiable warehouse receipt”) yaitu suatu resi gudang yang memuat perintah penyerahan barang kepada siapa saja yang nama disebut di resi gudang itu atau penggantinya atas perintah pihak itu sebagaimana dinyatakannya dengan endorsement.
  • Resi gudang yang tidak dapat diperdagangkan (“non-negotiable warehouse receipt”) yaitu resi gudang yang tidak tunduk pada UU Resi Gudang tahun 2006 itu.

Sistem resi gudang di Indonesia

Di Indonesia, sistem resi gudang ini diatur oleh Undang-Undang nomor 9 tahun 2006 tentang sistem resi gudang, dimana definisi resi gudang menurut undang-undang tersebut adalah “dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang”.

Derivatif resi gudang adalah turunan resi gudang yang dapat berupa kontrak berjangka resi gudang, opsi atas resi gudang, indeks atas resi gudang, surat berharga diskonto resi gudang, unit resi gudang, atau derivatif lainnya dari resi gudang sebagai instrumen keuangan. Derivatif Resi Gudang ini hanya dapat diterbitkan oleh bank, lembaga keuangan nonbank, dan pedagang berjangka yang telah mendapat persetujuan badan pengawas.

Perdagangan resi gudang di Indonesia diatur oleh suatu badan yang disebut “Badan Pengawas Sistem Resi Gudang” yaitu suatu unit organisasi di bawah Menteri yang diberi wewenang untuk melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan pelaksanaan sistem resi gudang.

Resi gudang yang diperdagangkan di Indonesia wajib untuk melalui suatu proses penilaian Gudang yang menerbitkan. Ini dilakukan oleh suatu lembaga terakreditasi yang disebut “Lembaga Penilaian Kesesuaian” yang berkewajiban untuk melakukan serangkaian kegiatan guna menilai atau membuktikan bahwa persyaratan tertentu yang berkaitan dengan produk, proses, sistem, dan/atau personel terpenuhi.

Sedangkan yang mendapatkan kewenangan guna melakukan penatausahaan resi gudang dan derivatif resi gudang di Indonesia yang meliputi pencatatan, penyimpanan, pemindahbukuan kepemilikan, pembebanan hak jaminan, pelaporan, serta penyediaan sistem dan jaringan informasi adalah “Pusat Registrasi Resi Gudang” yang merupakan suatu badan usaha yang berbadan hukum.

Sesuai ketentuan perundang-undangan maka resi gudang di Indonesia harus memuat sekurang-kurangnya:

  1. judul resi gudang;
  2. jenis resi gudang yaitu “resi gudang atas nama” atau “resi gudang atas perintah”;
  3. nama dan alamat pihak pemilik barang;
  4. lokasi gudang tempat penyimpanan barang;
  5. tanggal penerbitan;
  6. nomor penerbitan;
  7. waktu jatuh tempo;
  8. deskripsi barang;
  9. biaya penyimpanan;
  10. tanda tangan pemilik barang dan pengelola gudang; dan
  11. nilai barang berdasarkan harga pasar pada saat barang dimasukkan ke dalam gudang.

Pada 22 Juni 2007 pemerintah telah pula menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2007 tentang resi gudang untuk melaksanakan ketentuan dalam “Undang-Undang nomor 9 tahun 2006 tentang sistem resi gudang”.

 

Komoditi resi gudang di Indonesia

“Barang” yang dimaksud dalam undang-undang dan peraturan tersebut adalah setiap benda bergerak yang dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu dan diperdagangkan secara umum dan paling sedikit memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  1. memiliki daya simpan paling sedikit 3 (tiga) bulan;
  2. memenuhi standar mutu tertentu; dan
  3. jumlah minimum barang yang disimpan.

Pada tanggal 24 Mei 2016, telah diterbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 35/M-DAG/PER/5/2016 (merupakan perubahan dari Permendag no. 37/M-DAG/PER/11/2011 dan Permendag no. 08/M-DAG/PER/2/2013) yang telah menetapkan empat belas komoditas sebagai barang yang dapat disimpan di gudang dalam penyelenggaraan sistem resi gudang. Ke-empat belas komoditas itu adalah

  1. Gabah
  2. Beras
  3. Kopi
  4. Kakao
  5. Lada
  6. Karet
  7. Rumput laut
  8. Jagung
  9. Rotan
  10. Garam
  11. Gambir
  12. Teh
  13. Kopra
  14. Timah

Gudang dengan sistem resi gudang

Gudang percontohan sistem resi gudang (SRG) yang berkapasitas 3.000 ton dengan dilekapi 5 unit alat pengering telah diresmikan pada hari Kamis tanggal 30 Agustus 2007 oleh Titi Hendrawati, Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) di Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas. Gudang ini merupakan gudang pertama di Indonesia dengan sistem resi gudang

Gudang dengan SRG ini dikelola oleh PT Petindo Daya Mandiri dengan melibatkan Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Banyumas serta kelompok tani dari tiga kecamatan yaitu Rawalo, Purwojati, dan Jatilawang yang merupakan daerah penyangga bagi gudang tersebut.

Petani yang menyimpan berasnya di gudang SRG akan mendapatkan sebuah dokumen berharga sebagai bukti kepemilikan barang yang dititipkan tersebut, dimana dokumen tersebut dapat dijadikan agunan guna memperoleh kredit dari koperasi maupun dari bank [1]

Negara berkembang yang melaksanakan sistem resi gudang

Berdasarkan data dari konferensi warehouse receipt system (WRS) di Amsterdam pada tanggal 9-11 Juli 2001 maka negara-negara berkembang yang tercatat cukup berhasil menerapkan sistem resi gudang ini adalah[2]:

  • Rumania
  • Hungaria
  • Afrika Selatan
  • Zambia
  • Ghana
  • Rusia
  • Slowakia
  • Bulgaria
  • Cesnia
  • Polandia
  • Kazakstan
  • Turki
  • Mexico

 

KAJIAN PENINGKATAN PEMANFAATAN SISTEM RESI GUDANG

Sistem Resi Gudang (SRG) merupakan instrumen perdagangan maupun keuangan yang memungkinkan komoditas yang disimpan dalam gudang memperoleh pembiayaan dari lembaga keuangan tanpa diperlukan jaminan lainnya sehingga dapat meningkatkan kredit/pembiayaan kepada petani, poktan, gapoktan, koperasi dan pelaku UMKM.

Di samping itu SRG diterapkan untuk menyimpan hasil pertanian pada saat harga jual jatuh (tunda jual) sehingga dapat menjaga kestabilan harga/inflasi.

Implementasi SRG di Indonesia dimulai sejak ditetapkannya UU No.9 Tahun 2006 kemudian diubah oleh UU No.9 Tahun 2011 dengan komoditas SRG meliputi gabah, beras, jagung, kopi, kakao, lada, karet, rumput laut, rotan, dan garam.

Dalam perkembangannya, implementasi SRG dinilai belum cukup optimal. Sampai dengan tahun 2016, jumlah gudang pemerintah yang telah memperoleh izin dari Bappebti yaitu sebanyak 80 gudang di mana sebanyak 65 gudang telah diterbitkan Resi Gudang, namun hanya 59.3% dari total resi gudang yang diterbitkan yang memperoleh pembiayaan. (Bappebti, 2016).

Kendala utama belum optimalnya implementasi SRG di Indonesia antara lain,

  1. Kurangnya pemahaman tentang SRG dan manfaatnya bagi pelaku usaha (petani, poktan, gapoktan, koperasi, dll),
  2. Besarnya biaya penyimpanan di gudang SRG, serta
  3. Perbankan yang memilih alternatif skema pembiayaan lain yang dianggap lebih menguntungkan misalnya kredit komersial.

Untuk mendapatkan solusi dari permasalahan implementasi SRG, diperlukan program terstruktur yang menjadi komitmen dari seluruh pelaku/stakeholder SRG (petani, poktan, gapoktan, koperasi, Bappebti, pengelola gudang, Pemda, Kementerian/Lembaga terkait, perbankan, dan Bank Indonesia), dengan tujuan utama untuk meningkatkan pemanfaatan SRG di Indonesia.

 

Pilot project 2 penghasil komoditas

Kajian ini dilakukan melalui pelaksanaan pilot project di dua daerah penghasil komoditas SRG,

  • khususnya untuk komoditas volatile foods dan
  • komoditas orientansi ekspor, yaitu gabah di Kuningan, Jawa Barat dan kakao di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara sebagai representasi komoditas SRG.

 

Tujuan utama kajian adalah merumuskan faktor utama keberhasilan (key success factor) rekomendasi kepada stakeholder SRG dalam rangka peningkatan pemanfaatan SRG agar dapat diterapkan dalam skala yang lebih luas sehingga menjadi referensi dalam menerapkan kebijakan SRG untuk meningkatkan pembiayaan pertanian.

Sebagai langkah perumusan, pilot project dilakukan untuk mengidentifikasi dan menganalisis aktor-aktor yang terlibat dalam SRG serta analisis rantai nilai SRG di masing – masing lokasi.

Di samping itu, kajian juga bertujuan untuk mendapatkan strategi dalam rangka memperkuat komitmen para aktor dalam rangka meningkatkan pemanfaatan SRG.

Berdasarkan hasil analisis pilot project

  • di Kabupaten Kuningan, yang memperoleh profit terbesar dalam rantai nilai gabah (sampai dengan 51%) adalah pengumpul besar yang memiliki Rice Miling Unit (RMU) Sedangkan untuk Petani/ Kelompok Tani (Poktan) umumnya memperoleh profit rata –rata 4%. Oleh karena itu skema SRG yang paling menguntungkan bagi Petani/Poktan yaitu jika gabah disimpan di Gudang SRG dan selanjutnya diterbitkan resi sebagai jaminan untuk memperoleh pembiayaan dari bank.
  • Sedangkan bagi pengelola gudang (koperasi) akan lebih menguntungkan jika gudang dilengkapi RMU untuk melakukan penggilingan gabah sendiri. Dengan demikian SRG tidak hanya melakukan skema tunda jual tetapi juga memotong mata rantai pemasaran karena setelah digiling beras tersebut dapat dijual langsung ke Pasar Induk Cipinang.
  • Dari hasil simulasi, apabila skema ini berjalan, Petani diperkirakan dapat memperoleh profit sebesar 5% dan pengelola gudang (koperasi) dapat memperoleh profit optimal hingga mencapai 75%.
  • Untuk meningkatkan kesejahteraan Petani dapat diusulkan skema profit sharing antara pengelola gudang (koperasi) dengan Petani.

Kendala utama pemanfaatan SRG di Kabupaten Kuningan beserta alternatif solusi yang direkomendasikan antara lain:

  1. Kendala pemenuhan syarat minimal volume gabah (10 ton) dapat diatasi dengan cara mengaktifkan peran poktan dan gapoktan,
  2. Anggapan rumitnya prosedur pengajuan kredit SRG oleh petani dapat difasilitasi oleh pengelola gudang sebagai mediator antara petani dan lembaga keuangan melalui sosialisasi dan edukasi finansial kepada para petani,
  3. dalam rangka memperoleh pengelola gudang yang “ideal” perlu dilakukan Fit and Proper Test Calon Pengelola Gudang baik dari sisi kelembagaan (kecukupan aset, kesehatan lembaga, dll) maupun sisi individu pengelola gudang,
  4. perlu diatur mekanisme transisi yang lebih detail untuk peralihan dari pendamping ke calon pengelola gudang yang ditunjuk selanjutnya agar dapat mengantisipasi terjadinya kekosongan posisi pengelola gudang yang terjadi di Kabupaten Kuningan.

Selanjutnya, berdasarkan hasil analisis pilot project di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, bahwa :

  1. Saat ini Petani menjual kakao basah (belum dikeringkan/fermentasi) dengan profit yang relatif kecil.
  2. Sementara berdasarkan hasil analisis marjin dapat disimpulkan bahwa aktivitas yang memberikan nilai tambah dari kakao basah menjadi kakao kering/fermentasi dapat meningkatkan profit yang diperoleh oleh Petani sampai dengan 70% – 80% dari seluruh profit yang diperoleh pelaku dari rantai nilai.
  3. Selain itu, diharapkan pengelola gudang (Koperasi Lembaga Ekonomi Masyarakat Sejahtera – LEMS) bertindak sebagai pedagang pengumpul sehingga akan memperpendek dan mengefisienkan saluran mata rantai komoditas kakao tersebut.
  4. Dengan demikian skema SRG yang paling menguntungkan baik bagi pengelola gudang (Koperasi LEMS) ataupun Petani yaitu jika Petani menjual biji kakao fermentasi ke Koperasi LEMS untuk disimpan di Gudang SRG, dan selanjutnya diterbitkan resi yang dapat dijadikan sebagai agunan untuk memperoleh pembiayaan dari bank.
  5. Setelah melunasi pembiayaan SRG, kakao tersebut langsung dijual ke industri pengolahan kakao.
  6. Dari hasil simulasi apabila skema ini berjalan, Petani diperkirakan dapat memperoleh profit mencapai 68%. Sedangkan profit yang diterima pengelola gudang adalah sebesar 32%.

Jika skema ini dapat berjalan maka tujuan utama SRG untuk meningkatkan kesejahteraan Petani dapat tercapai.

Kendala utama dan alternatif solusi yang dapat direkomendasikan agar dapat mengoptimalkan implementasi SRG di Kabupaten Konawe Selatan di antaranya yaitu:

  1. pemanfaatan gudang secara bertahap, dengan skema gudang biasa untuk penitipan sementara kemudian menjadi Gudang SRG,
  2. tidak adanya insentif harga kakao fermentasi dapat direkomendasikan agar Koperasi LEM Sejahtera membeli kakao basah dan melakukan fermentasi melalui penyediaan sarana fermentasi standar (fermented center) di Gudang SRG,
  3. kendala biaya SRG yang dirasa relatif mahal bagi petani dapat diakomodir dengan kerjasama antara Poktan dan LEM Sejahtera untuk menghimpun petani sehingga dapat memenuhi volume kakao untuk mencapai skala ekonomi,
  4. diperlukan sosialisasi kepada perbankan mengenai SRG kakao serta peran Bappebti dalam melakukan pendampingan kepada perbankan agar dapat terdaftar di Kemenkeu sebagai bank pelaksana SRG.

Kendala peningkatan pemanfaatan SRG berbeda antara kedua lokasi pilot project karena terdapat perbedaan karakteristik komoditas, aset pengelola gudang, dan struktur pasar. Namun secara umum, key success factors implementasi SRG di kedua lokasi relatif identik antara lain:

  1. Keberhasilan pemanfaatan SRG ditentukan oleh kemampuan aktor utama (Poktan/Gapoktan) sebagai pemilik barang yang akan disimpan di gudang untuk dapat memenuhi kuota penyimpanan barang dalam gudang SRG,
  2. Pengelola harus mempunyai kemampuan manajerial yang baik dan berjiwa entrepreneur sehingga mampu bersaing dengan pedagang pengumpul untuk memutus rantai pemasaran,
  3. Keberhasilan pemanfaatan SRG juga ditentukan oleh dukungan Pemda termasuk koordinasi antar stakeholders baik di tingkat daerah maupun pusat,
  4. Perlu dukungan sistem informasi resi gudang berupa sistem informasi harga, sistem informasi pengawasan barang, dan lainnya,
  5. Penyempurnaan mekanisme transisi dari pendamping pengelola gudang kepada calon pengelola gudang (koperasi) yang baru,
  6. Penyediaan anggaran untuk kegiatan pendampingan pengelola gudang, monitoring dan evaluasi, serta penyediaan sarana dan prasarana oleh Bappebti/Pemerintah Daerah.

 

Dari hasil kajian diperoleh beberapa rekomendasi yang terkait dengan tugas dan wewenang stakeholder terkait.

Rekomendasi kepada Bappebti mengenai pemanfaatan gudang SRG dapat dilakukan secara bertahap mulai dari;

  1. diperlakukan sebagai gudang penitipan sampai dengan penerapan gudang SRG,
  2. penyempurnaan mekanisme transisi pendamping pengelola gudang,
  3. penguatan pasar lelang online, sinergi dengan stakeholder lainnya terkait pemanfaatan gudang SRG, serta
  4. sosialisasi dan edukasi SRG. Rekomendasi kepada Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian mengenai percepatan implementasi peraturan bagi petani dan pelaku usaha untuk melakukan fermentasi kakao, dan kepada Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian mengenai penguatan poktan dalam upaya pemenuhan syarat minimal volume gabah dan sinergi program lumbung pangan dengan SRG. Adapun rekomendasi kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yaitu dimungkinkannya pemberian subsidi bunga bagi petani/koperasi yang memperoleh pembiayaan SRG dan KUR di saat yang bersamaan serta rekomendasi agar SRG menjadi instrumen pendukung stabilisasi harga oleh Tim Pengendali Inflasi Daerah.

Selanjutnya, hasil Kajian Peningkatan Pemanfaatan SRG di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat dan Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara diharapkan dapat memberikan masukan lebih lanjut atas Petunjuk Pelaksanaan Implementasi SRG di daerah yang menjadi acuan dalam rangka pengembangan implementasi SRG dalam skala yang lebih luas.

Selengkapnya bisa dibaca pada Buku BI 4 – Kajian Peningkatan Resi Gudang.pdf

4380cookie-checkKontroversi Pemasaran Produk Desa (Sebagai Referensi)

Leave a Reply

Copyright © All rights reserved. | Newsphere by AF themes.